Masa paling berwarna adalah masa SMA, dan masa SMA adalah masa paling berwarna. Berpegang teguh pada hal itu, aku berharap bisa lulus sesegera mungkin dari SMP ini. Reputasi ku jelek, tidak ada teman, dibenci, tidak ada hal lain yang kupikirkan selain lulus.
______________________________________
Musim Gugur dan Masa Muda yang Berguguran
…
Seorang anak laki-laki, usianya SMP, penyendiri, duduk di kursi paling belakang dekat jendela. Selalu menghadap ke luar jendela, mengabaikan ruang kelas yang terlalu dekat dengannya.
Pagi itu adalah hari pertama baginya menjadi siswa kelas tiga SMP. Datang paling pertama, menempati kursi andalannya. Kursi paling belakang. Merasa bisa santai, dia kembali menatap lapangan dari jendela. Menikmati angin pagi yang sejuk juga kesunyian sepi yang tenang.
Setiap tahun, kelas akan diacak. Karena itu kelas yang ia tempati tahun ini adalah kelas yang berbeda dengan tahun keduanya. Teman sekelasnya juga berbeda, tapi itu tidak memperbaiki apapun soal reputasinya. Dia hanya bisa mempertahankan agar reputasinya tidak semakin buruk. Kalau bisa, ia ingin memperbaikinya walau sedikit. Di tengah suasana sejuk santai itu, dia kedatangan seseorang.
“Kamu …. Oase, ya?” tanya seorang siswa perempuan yang pertama kali ia lihat. Mata cerah bersinar dan rambutnya lurus hingga punggung.
Gadis berpakaian rapi itu meletakkan tas miliknya di kursi. Kursi yang letaknya tepat di depan laki-laki itu. Laki-laki yang dipanggil Oase menatapnya sejenak lalu acuh.
Padahal kursi masih banyak, tapi kenapa dia memilih tempat itu?
Oase membatin kesal dalam hatinya. Tangan kanannya menopang kepala yang malas terangkat dan kembali melihat jendela.
“Tunggu … mengabaikan sapaan orang itu terlalu kejam loh … namaku, Nova. Aku akan duduk disini. Ah, temanku juga akan segera datang. Namanya Lifah, dia itu benar-benar ramai. Dia akan duduk di sebelahku.”
“…” Tidak ada respon apapun.
“Apa, ada masalah? Aku bebas mau duduk di mana pun, ‘kan?”
Oase melirik dan berkata, “duduklah di manapun sesukamu.” Sebenarnya Oase tidak peduli, dia hanya malas menanggapi. Sekarang, seseorang berteriak di dekat pintu kelas.
“NOVA!!! KITA SEKELAS LAGI!!!” Gadis itu berteriak keras menyapa Nova yang sudah duduk di depan Oase.
“Lifah! Sini, duduk disini!” Nova mengetuk kursi di sampingnya, isyarat bahwa Lifah harus duduk di sebelahnya.
“Bagus … dua orang ramai duduk di depanku.” Oase lagi-lagi membatin jengkel pada kelakuan mereka.
Setelah duduk di samping Nova, Lifah menoleh ke belakang dan melihat Oase. Melihat Oase dengan teliti dan saksama hingga menyipitkan kedua matanya.
“Ini …. Oase? Menarik …. HWAHAHAHAHHA!” Dia tertawa keras. Membuat Oase memalingkan pandangannya dari jendela dan melihat Lifah.
“Kupikir kau orang yang seram, galak, dan apalah itu. Tapi aku senang kau adalah orang baik. Senang bertemu denganmu.” Lifah mengulurkan tangannya dan ingin berjabat. Oase tidak membalas uluran tangan itu, dia malah bertanya.
“Kenapa kau bisa berpikir bahwa aku orang baik?” Tanya Oase malas, namun dipaksakan. Bukan Lifah yang menjawab, Nova menjelaskan.
Lagian, rumor kalau aku menyeramkan. Itu darimana?
“Lifah itu memiliki rasa peka yang tidak masuk akal. Jika dia bilang kau adalah orang baik, maka itu tidak bisa diperdebatkan. Aku juga akan percaya. Contohnya seperti ini.”
Nova menghadap ke arah Lifah, mereka saling berhadapan tepat di depan Oase sekarang.
“Lifah, aku sudah sarapan,” kata Nova.
“Bohong, aku bisa tahu!” jawab Lifah dengan percaya diri.
“Seperti yang kau lihat. Lifah bisa mengerti bahkan jika kau berbohong.” Sekarang Nova berbicara pada Oase. Dia menjelaskan tentang kepekaan tidak normal yang dimiliki Lifah.
“Kali ini aku tidak memakai kepekaan sih … lagian, Nova memang malas sarapan. Karena kau tidak pernah sarapan, aku sampai hafal. Duh … sarapan itu penting loh … kamu bisa sakit jika tidak sarapan.”
“Berisik, memangnya kamu ini ibuku?” balas Nova ketus cemberut.
“Mereka ternyata sangat dekat ….” Pikir Oase dalam diam menyimak perkataan mereka.
BAGH!
Seseorang memukul pundak Oase. Sebenarnya, itu hanya tepukan pundak selamat pagi. Akan tetapi, itu terlalu keras hingga membuat Oase kesakitan. Oase mengusap pundaknya yang sakit. Lalu melihat sosok yang memukul pundaknya barusan.
“Sepertinya, kau anak laki-laki yang paling pertama datang kesini, ya!” Ucap orang yang barusan memukul pundak Oase sebagai sapaan. Oase melihat orang itu. Laki-laki berkulit coklat tua dan lebih tinggi darinya. Memiliki raut wajah sangar dan penuh semangat. Orang itu berkata lagi.
“Oke, aku akan duduk di sampingmu! Karena … disini dekat AC!” ucap laki-laki itu bersemangat pada Oase.
“Aku tidak keberatan.” Oase menanggapi setuju.
“Tunggu Reki … bukannya curang? Sejak kelas dua kau selalu dan selalu duduk di bawah AC. Setidaknya beri yang lain kesempatan.” Lifah merasa keberatan dengan keputusan Reki. Karena itu dia protes
“Siapa cepat dia dapat!” Reki memberi tanggapan masa Bodo.
Sejak kelas dua? Itu berarti mereka sekelas dulunya?
“Kalian bertiga, apakah tahun lalu sekelas?” Oase bertanya.
“Ya. Jika kau melihat daftar anak yang masuk kelas ini, kami semua kecuali dirimu, dulunya sekelas.” Jawaban Reki membuat Oase terkejut dan terdiam. Ditambah lagi, Nova menimpali pernyataan itu.
“Setiap tahun, kelas kami hanya berisi 32 orang. Tidak berkurang, bertambah, atau berubah. Tidak ada yang pindah kelas karena nilai turun, juga tidak ada anak kelas bawah yang masuk kelas ini karena mengalahkan nilai kami. Dengan kata lain, hanya kau yang berbeda kelas dengan kami tahun lalu.” Nova menimpali.
“Tidak apa ‘kan … lagipula sekarang ini kita teman sekelas. Bagaimana hubungan kita dulu, itu tidak perlu dipermasalahkan sekarang.” Lifah menghentikan topik yang kurang menyenangkan ini.
Sejak tahun lalu aku memang selalu, selalu, dan selalu berusaha keras. Aku mendengar kabar bahwa kelas akan mengalami rolling setiap tahun berdasarkan nilai. Karena itu aku terus belajar, belajar, dan belajar. Aku harus mendapatkan kelas teratas. Aku harus bisa mendapatkan nilai yang tinggi. Dengan begini dapat dipastikan, siswa yang kutemui sekarang adalah orang-orang baru. Juga, usahaku selama ini berhasil. Aku bersyukur.
Menyadari potensi yang dimiliki oleh teman sebangkunya, Reki memberi apresiasi.
“Kau hebat juga ya, bisa sampai masuk ke kelas ini. Padahal selama dua tahun, posisi kelas ini tidak pernah berubah sama sekali. Semua anak yang mengisi kelas ini belum pernah dikalahkan dari kelas bawah. Kami semua tetap bisa belajar di kelas ini.”
“T-tapi, jika aku masuk kelas ini … berarti ada anak yang pindah kelas karena nilainya dikalahkan olehku, ‘kan? Siapa dia?” Oase membalas tanggapan mereka dengan pertanyaan. Membuat suasana hening sejenak, mereka merasa enggan untuk memberi jawaban.
“Maaf, kalian tidak perlu menjawabnya,” kata Oase menutup pembicaraan dan kembali melihat ke luar jendela. Sambil Oase menatap lapangan, dia mendengar perkataan Nova yang menjelaskan dengan pelan.
“Itu … salahnya sendiri. Dia selalu berkata kalau tidak akan ada anak kelas bawah yang mampu menyaingi nilai kami. Dia selalu meremehkan anak kelas bawah, membuatnya santai dalam belajar. Sebagai hasilnya, ada orang yang mampu melampaui nilainya dan dia pindah kelas.” Nova berkata pelan, takut ada banyak orang yang mendengarnya.
Reki dan Lifah diam tidak menanggapi itu. Karena hari sudah mulai terang, siswa lain mulai berdatangan dan mencari tempat duduk. Karena dua tahun sebelumnya mereka sekelas, mereka tidak lagi butuh waktu untuk akrab. Kelas mulai ramai dan bising karena mereka mengobrol masing-masing.
Tanpa disadari, seluruh kursi sudah ditempati. Kelas sudah penuh, semua siswa telah datang. Tinggal menunggu waktu bel masuk. Ini adalah salah satu kebiasaan yang membuat siswa kelas atas berbeda. Mereka selalu datang lebih awal dan tidak ada yang terlambat. Berbeda dengan kelas yang Oase rasakan dua tahun lalu. Bahkan kelas masih sepi meski lima menit lagi bel.
Akhirnya, bel berbunyi. Semua siswa duduk dengan tertib, menunggu guru masuk ke dalam kelas. Berjalan di depan kelas, sosok guru laki-laki yang rambutnya cepak. Membawa empat spidol di saku dadanya dan tumpukan soal di tangan. Dia meletakkan tumpukan soal itu di atas meja guru dan berkata.
“Sebagai pemanasan sebelum belajar, ayo kita mengerjakan soal! Bapak juga ingin tahu siapa saja yang otaknya masih terasah selama liburan ….”
PENDIDIKAN KELAS ATAS